Thursday, July 26, 2012

Laporan RR


BAB I
PENDAHULUAN
            Pakan merupakan komponen penting di dalam industri peternakan. Sumber bahan pakan dapat diperoleh dengan cara memanfaatkan limbah, baik limbah pertanian maupun limbah perkebunan yang masih belum lazim digunakan. Tanaman kelapa (Cocos nucifera L) termasuk jenis tanaman yang multi fungsi, hal ini karena hampir semua bagian dari tanaman tersebut dapat dimanfaatkan, dan banyak dijumpai di Indonesia yang merupakan penghasil kopra terbesar kedua di dunia. Usaha budidaya tanaman kelapa melalui perkebunan terutama dilakukan untuk memproduksi minyak kelapa dengan hasil samping salah satunya
berupa bungkil kelapa. Bungkil kelapa yang dihasilkan masih memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi terutama protein. Hal ini menyebabkan bungkil kelapa berpotensi untuk diolah menjadi pakan.
Tujuan dari praktikum ransum ruminansia adalah untuk mengetahui nilai kecernaan bahan kering (KcBK) dan kecernaan bahan organik (KcBO) dengan sampel bahan pakan berupa bungkil kelapa secara in vitro. Manfaat yang dapat diperoleh yaitu dapat mengetahui nilai kecernaan bahan pakan serta dapat menganalisis tahap-tahap perubahan pakan yang berlangsung pada  kecernaan in vitro.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.      Bungkil Kelapa
            Bungkil kelapa adalah hasil ikutan yang didapat dari ekstraksi daging buah kelapa segar atau kering. Mutu standar bungkil kelapa meliputi kandungan nutrisi dan batas tolerasi aflatoxin (Chuzaemi et al., 1997). Bungkil kelapa diperoleh dari ampas kopra. Bungkil kelapa mengandung 11% air, minyak 20%, protein 45%, karbohidrat 12%, abu 5%, BO 84% dan BETN 45,5%. Bungkil kelapa banyak dimanfaatkan sebagai pakan ternak karena memiliki kandungan protein yang cukup tinggi (Hamid et al., 1999).
Protein kasar yang terkandung pada bungkil kelapa mencapai 23%, dan kandungan seratnya yang mudah dicerna merupakan suatu keuntungan tersendiri untuk menjadikan sumber energi yang baik sehingga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak, seperti sebagai bahan pakan pedet terutama untuk menstimulasi rumen dan pakan asal bungkil kelapa juga terbukti ternak dapat menghasilkan susu yang lebih kental dan rasa yang enak (Mariyono dan Romjali, 2007). Penambahan bungkil kelapa dapat meningkatkan konsumsi pakan, kecernaan pakan dan pertambahan bobot badan harian. Ternak ruminansia yang mendapatkan pakan berkualitas rendah sebaiknya diberikan pakan tambahan yang kaya akan nitrogen untuk merangsang pertumbuhan dan aktivitas mikroba di dalam rumen (Marsetyo, 2006). 

2.2.      Kecernaan In Vitro
            Kecernaan in vitro adalah teknik pengukuran degradabilitas dan kecernaan evaluasi ransum secara biologis dapat dilakukan secara laboratorium dengan meniru seperti kondisi sebenarnya (Mulyawati, 2009). Pada dasarnya teknik In vitro adalah meniru kondisi rumen. Kondisi yang dimodifikasi dalam hal ini antara lain larutan penyangga, bejana fermentasi, pengadukan dan fase gas, suhu fermentasi, pH optimum, sumber inokulum, kondisi anaerob, periode fermentasi serta akhir fermentasi. Larutan penyangga sebagai unsur buffer berfungsi untuk mempertahankan pH rumen sehingga tidak mudah turun oleh asam-asam organik yang dihasilkan selama proses fermentasi (Sutardi et al., 1983).
Suhu fermentasi diusahakan sama dengan suhu fermentasi dalam rumen yaitu berkisar 36-390C. Suhu tersebut harus stabil selama proses fermentasi berlangsung, hal ini dimaksud agar mikroba dapat berkembang sesuai dengan kondisi asal. Aktifitas mikroba rumen tetap berlangsung normal apabila pH rumen berkisar antara 6,0-6,7. Pemberian gas CO2 secepatnya bersamaan dengan pengadukan secara mekanik dilakukan dalam fermentasi in vitro dengan meniru prinsip pengadukan dalam rumen sesungguhnya yang selalu bergerak secara teratur. Gerakan rumen juga ditiru dengan penempatan bejana fermentasi dalam shakerbath (Makkar et al., 1995). Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan in vitro diantaranya adalah pencampuran pakan, cairan rumen, pengontrolan temperatur, variasi waktu, dan metode analisis (Yunus, 1997).

2.2.1.   Kecernaan bahan kering
            Kecernaan BK yang tinggi pada ternak ruminansia menunjukkan tingginya zat nutrisi yang dicerna oleh mikroba rumen (Anitasari, 2010). Faktor-faktor yang mempengaruhi nilai KcBK ransum adalah tingkat proporsi bahan pakan dalam ransum, komposisi kimia, tingkat protein, persentase lemak dan mineral (Anggorodi, 1994).
Kecernaan BK bungkil kelapa adalah 57,88% (Ariani, 1981).  Serat kasar semakin tinggi kadar di dalam ransum akan menurunkan daya cerna bahan kering, protein kasar, dan energi dapat dicerna (Price et al., 1980).
2.2.2.   Kecernaan bahan organik
Kecernaan BO menggambarkan ketersediaan nutrien dari pakan dan menunjukkan nutrien yang dapat dimanfaatkan oleh ternak. Kecernaan bahan kering dapat mempengaruhi KcBO (Tillman et al.,1991). Pemberian konsentrat yang mengandung protein kasar yang tinggi akan mengaktifkan mikrobia rumen sehingga meningkatkan jumlah bakteri proteolitik dan naiknya deaminasi yang mengakibatkan meningkatnya nilai kecernaan bahan organik (Sutardi, 1980).
Kecernaan BO bungkil kelapa adalah 57,94% (Ariani, 1981). Kecernaan pada bahan pakan dipengaruhi oleh bahan pakan itu sendiri, cairan rumen, larutan penyangga dan kondisi anaerob (Forbes and France, 1993).


BAB III
MATERI DAN METODE
Praktikum Ransum Ruminansia dengan materi Kecernaan Bahana Kering dan Bahan Organik secara In Vitro dilaksanakan pada hari Selasa-Sabtu, 12-16 Juni 2012 di Laboratorium Ilmu Makanan Ternak, Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro Semarang.
3.1.      Materi
            Alat yang digunakan dalam praktikum pengukuran kecernaan bahan kering dan bahan organik secara in vitro antara lain tabung fermentasi, sentrifus, cawan porselin, oven, tanur listrik, termos, waterbath, pompa vacum, pH meter, kertas minyak, kertas saring bebas abu, gelas beker, rak tabung, tutup tabung yang dilengkapi selang karet dengan celah sebagai pembebas udara, termometer, eksikator serta gelas ukur untuk menghitung berapa volume cairan yang dibutuhkan, sedangkan bahan yang digunakan adalah bungkil kelapa sebagai sampel, larutan penyangga atau Mc Dougall, cairan rumen, dan larutan pepsin HCl dan CO2.
3.2.      Metode
          3.2.1.   Fermentasi mikroba
Metode yang digunakan pada tahap persiapan yaitu menyiapkan alat-alat yang digunakan (tabung fermentasi, cawan porselin, gelas beker), kemudian mengeringkannya dalam oven bersuhu 100-105ºC selama 1 jam. Memasukkan tabung fermentasi, cawan porselin, gelas beker, tutup tabung yang telah dioven ke dalam eksikator selama 15 menit dan menimbang bobotnya. Menyiapkan sampel bungkil kelapa dan menimbang sample dengan berat antara 0,55-0,56 gram (kering udara) untuk setiap tabung.
Menyiapkan cairan rumen yang diambil dari rumah pemotongan hewan. Cairan rumen ditampung dalam termos yang telah sebelumnya telah diisi dengan air hangat. Di laboratorium cairan disaring melalui kain kasa dan diusahakan agar suasananya tetap hangat dan anaerob (dilakukan penambahan CO2) .Menyiapakan penangas air yang telah diisi air secukupnya dengan temperatur 39OC. Memasukkan sampel bungkil kelapa yang telah ditimbang (0,5 gram) kedalam tabung fermentasi dan ditambahkan dengan 40 ml larutan penyangga + 10 ml cairan rumen kemudian dimasukkan ke dalam tabung fermentor, setelah itu letakan ke dalam penangas air yang bersuhu 39OC. Fermentasi mikroba dilakukan selama 48 jam. Selama inkubasi dilakukan penggojokkan secara berkala (sehari 2 kali) 6 jam sekali. Setelah inkubasi selama 48 jam, fermentasi dihentikkan. Mengangkat tabung fermentasi dari penangas air dan ditambahakan 25 ml aquades untuk mengakhiri fermentasi. Tabung fementasi disentrifus selama 8 - 10 menit untuk memisahkan cairan dengan endapan. Endapan sampel ditinggal kemudian diteruskan dengan pencernaan enzimatis.
3.2.2.   Pencernaan enzimatis (proteolitik)
Metode yang digunakan pada pencernaan enzimatis adalah  menambahkan 50 ml larutan pepsin HCL pada tabung fermentasi. Memasukkan ke dalam waterbath dan melakukan inkubasi selama 48 jam selama inkubasi melakukan penggojokan selama 6 jam sekali. Mengambil residu setelah inkubasi selama 48 jam selesai, dengan menyaring melalui kertas saring dan mempercepat proses tersebut dengan pompa vacum. Mengeringkan residu dalam oven bersuhu 104ºC selama 12 jam. Mengeringkan residu dalam oven bersuhu 1040C selama 12 jam. Mendinginkan dalam eksikator selama 15 menit dan menimbangnya sehingga dapat mengetahui kecernaan bahan kering dengan menggunakan rumus :
KcBK =
Mencari kecernaan bahan organik, memasukkan sampel ke dalam tanur sehingga semua sampel telah menjadi abu (± 6 jam pada suhu 6000ºC) dan menghitungnya dengan rumus :
KcBO =

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil praktikum ransum ruminansia dengan materi kecernaan bahan kering dan bahan organik bungkil kelapa secara in vitro diperoleh data sebagai berikut :
Tabel 1. Hasil Pengamatan pada Bungkil Kelapa
Parameter
Hasil analisis*
Standar bungkil kelapa **

................................%...........................
Kecernaan BK
43,54
57,88
Kecernaan BO
46,105
57,94
Sumber  : *)    Data Primer Praktikum Ransum Ruminansia, 2012
                ** ) Ariani,1981


4.1.      Kecernaan Bahan Kering
            Berdasarkan hasil praktikum, didapatkan nilai KcBK sebesar 43,54%. Nilai tersebut cukup jauh dari standar. Faktor-faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah bahan pakan, protein dan persentase lemak. Kecernaan BK  berhubungan dengan protein kasar dan energi yang dapat dicerna, semakin serat kasar dalam suatu bahan pakan maka kecernaan bahan kering semakin rendah. Menurut Ariani (1981) bahwa kecernaan bahan kering bungkil kelapa adalah 57,88%. Hal ini sesuai oleh pendapat Price et al. (1980) bahwa serat kasar semakin tinggi kadarnya di dalam ransum akan menurunkan daya cerna bahan kering, protein kasar dan energi dapat dicerna. Hal ini diperkuat oleh pendapat Anggorodi (1994) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi nilai kecernaan BK ransum adalah tingkat proporsi bahan pakan dalam ransum, komposisi kimia, tingkat protein, persentase lemak dan mineral.
4.2.      Kecernaan Bahan Organik
Berdasarkan hasil praktikum, didapatkan nilai KcBK sebesar 46,105%. Nilai tersebut juga cukup jauh dari standar. Nilai KcBO menggambarkan nutrien yang dapat dimanfaatkan oleh ternak. Faktor-faktor yang menyebabkan nilai kecernaan tidak sesuai dengan standar diantaranya adalah asal sampel, pencampuran pakan dan cairan rumen. Menurut Ariani (1981) bahwa KcBO bungkil kelapa adalah 57,94%. Hal ini sesuai dengan pendapat                    Tillman et al. (1991) bahwa KcBO menggambarkan ketersediaan nutrien dari pakan dan menunjukkan nutrien yang dapat dimanfaatkan oleh ternak. KcBK dapat mempengaruhi KcBO. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Yunus (1997) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan in vitro diantaranya adalah pencampuran pakan, cairan rumen, pengontrolan temperatur, variasi waktu, dan metode analisis.





BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.      Kesimpulan
            Berdasarkan hasil praktikum Ransum Ruminansia didapatkan kesimpulan bahwa bungkil kelapa memiliki kecernaan BK dan kecernaan BO yang tidak terlalu tinggi yang menandakan bahwa pemanfaatan nutrisi bungkil kelapa yang diserap oleh saluran pencernaan ternak tidak terlalu banyak.
5.2.      Saran
            Pengambilan dan penyimpanan cairan rumen harus tepat karena dapat mempengaruhi nilai kecernaan suatu sampel bahan pakan.

DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Anitasari, L. 2010. Pengaruh Tingkat Penggunaan Limbah Tape Singkong dalam Ransum terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Ransum Domba Lokal. Skripsi. Fakultas Peternakan Universitas Padjajaran, Bandung.
Ariani, E. 1981. Uji Banding Bungkil Biji Kapuk (Ceiba petandra, Gaertn) terhadap Dedak, Bungkil Kelapa dan Bungkil Kedelai sebagai Sumber Protein Ternak Ruminansia. Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan Institut Pertanian, Bogor.

Chuzaemi, S., Hermanto, Soebarinoto, H. Sudarwati. 1997. Evaluasi Protein Pakan Ruminansia Melalui Pendekatan Sintesis Protein Mikrobial di dalam Rumen. Evaluasi Kandungan RDP dan UDP pada Beberapa Jenis Hijauan Segar, Limbah Pertanian dan Konsentrat. Jurnal Penelitian Ilmu-ilmu Hayati (Life Science) 9:77-89.

Forbes, J. M., dan J. France. 1993. Quantitative Aspects of Ruminant Digestion and Metabolism. Cab. International, New York.
Hamid, H., T. Purwandaria, T. Haryati dan A.P. Sinurat. 1999. Perubahan Nilai Bilangan Peroksida Bungkil Kelapa dalam Proses Penyimpanan dan Fermentasi. JITV 4(2): 102-106.

Mulyawati, Y. 2009. Fermentabilitas dan Kecernaan In Vitro Biomineral Dienkapsulasi. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Makkar, H. P. S., M. Blummel and K. Becker. 1995. Formation of Complexesbetween Polyvinyl Pyrolidones or Polyethylene Glycols and Taninand Their Implications in Gas Production and The True Digestibility In Vitro Techniques. Jurnal of Nutrition Britany 73.
Mariyono dan E. Romjali. 2007. Petunjuk Teknis : Teknologi Inovasi Pakan Murah untuk Usaha Pembibitan Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Pasuruan.

Marsetyo. 2006. Pengaruh Penambahan Daun Lamtoro atau Bungkil Kelapa Terhadap Konsumsi, Kecernaan Pakan dan Pertambahan Bobot Kambing Betina Lokal yang Mendapatkan Pakan Dasar Jerami Jagung. Program Studi Nutrisi dan Makanan Ternak Fakultas Pertanian Universitas Tadulako, Palu. Jurnal Protein 13(1):7.

Price, M. A., S. D. Jones, G.W. Mathison and R.T. Berg. 1980. The Effect of Increasing Dietary Raughage Level and Slaughter Weight on the Feedlot Performance and Carcass Charateristic of Bulls and Steer. Can. J. Anim. Sci. 60:345.

Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi I. Departemen Ilmu Makanan Ternak Fakultas Peternakan Institut Pertanian, Bogor.

Sutardi, T., N. A. Sigit dan T. Toharmat. 1983. Standarisasi Mutu Protein Bahan Makanan Ternak Ruminansia, Berdasarkan Parameter Metabolismenya oleh Mikrobia Rumen. Proyek Pengembangan Ilmu dan Teknologi. Ditjen Pendidikan Tinggi, Jakarta.

Tillman, A. D., H. Hartadi., S. Reksohadiprodjo., S. Prawirokusumo., dan S Lebdosoekojo., 1991. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Yunus, M. 1997. Pengaruh Umur Pemotongan Spesies Rumput terhadap Produksi Komposisi Kimia, Kecernaan In Vitro dan In Sacco. Skripsi. Fakultas Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.


Laporan MTP


BAB I
PENDAHULUAN
Di masa yang lalu, para peternak sapi perah tradisional lebih banyak menggantungkan usahanya terhadap manfaat hasil penggunaan tiga sumber daya yaitu ternak, tanah, tenaga kerja . sedangkan sumberdaya modal dan majemen belum mendapat perhatian atau diabaikan. Berbicara  mengenai manajemen, para ahli banyak yang telah mendefinisikannya. Betapa pentingnya aspek manajemen ini, maka dalam dunia usaha khusunya dalam bidang peternakan sapi perah, faktor tersebut dapat membawa ke arah keberhasilan atau kebangkrutan usaha. Oleh karena itu manajemen merupakan kunci kegiatan yang sepenuhnya bergabung pada kualitas manusianya sebagai subyek pemeran utama.  Aspek manajemen tidak dapat dihitung jumlahnya dan juga sulit untuk mengukur keterampilan manajemen secara parsial. Penilaian dapat dilakukan hanya berdasarkan hasil akhir dari suatu kegiatan, apakah manajemennya baik atau buruk. Khususnya dalam bidang peternakan sapi perah terdapat istilah General management (tatalaksana peternakan) dan Practical management (tatalaksana rutin peternakan). General management adalah pengelolaan semua faktor produksi termasuk pemasaran, sedangkan Practical management adalah tatakasana rutin yang dijalankan sehari-hari yang berkaitan dengan ternaknya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1  Sapi Perah
       Sapi Fries Holland  atau  FH  berasal dari provinsi Belanda Utara dan Provinsi Friesland Barat. Sapi ini di Amerika Serikat disebut Holstein Friesian atau  disingkat  Holstein dan di Eropa disebut Friesian.  Sapi  FH adalah sapi perah yang produksi susunya tertinggi dibandingkan dengan sapi perah bangsa lainnya,  tetapi  kadar  lemak  susunya  rendah.  Sebagai gambaran, rataan produksi  susu  sapi FH di Amerika Serikat rata-rata 7.245 kg/laktasi dengan kadar  lemak 3,65 % (Sudono.,et al 2000).
Tanda – tanda yang dimiliki bangsa ini antara lain memiliki warna putih dengan  belang  hitam,  dapat  juga hitam dengan belang  putih sampai warna putih. Ekor harus putih, warna hitam tidak diperkenankan, juga tidak diperbolehkan warna hitam didaerah bawah persendian siku dan lutut, tetapi warna  hitam  pada  kaki  mulai dari bahu atau paha sampai ke kuku diperbolehkan  ( Syarief dan Sumopratowo, 1990).  Sapi  FH  tergolong  bangsa sapi  yang  paling  rendah  daya  tahan  panasnya,  sehingga perlu dipertimbangkan  iklim  yang  ada di daerah  pemeliharaan  (Soetardi, 1995).
2.2      Manajemen Pemeliharaan
2.2.1    Manajemen Pedet
Pedet  waktu  kecil hanya akan mengkonsumsi air susu sedikit demi sedikit dan secara bertahap anak  sapi  akan  mengkonsumsi calf starter (konsentrat  untuk  awal  pertumbuhan  yang  padat  akan  gizi,  rendah  serat kasar dan bertekstur lembut) dan selanjutnya belajar mengkonsumsi rumput (Imron, 2009).  Pemberian  pakan konsentrat dengan protein kasar dan energi yang  cukup  pada  pedet  lepas  sapih.  Pakan  tersebut sangat  diperlukan terutama  untuk  perkembangan  ambing  dan  juga  perkembangan  tubuh (Siregar, 1990). Pada kondisi  lepas sapih atau sekitar  umur  empat  bulan,  sapi diberikan pakan hay secara bertahap (Abbdullah, 2011).

2.2.2    Manajemen Sapi Dara
Sapi sebaiknya dimandikan setiap hari dan pembersihan kotoran yang menempel  dikulit  (Siregar, 1990).   Dewasa  tubuh  pada  sapi dara dapat dicapai pada umur 15-18 bulan. Sehingga pada umur tersebut sapi mulai dapat dikawinkan ,  hal  ini  sangat  penting  supaya sapi betina cepat beranak pada umur 2,5 tahun.  Pertumbuhan  dari sapi dara ini tergantung dari cara pemeliharaan dan pemberian makanannya. Biasanya setelah sapi tidak mendapatkan  susu  lagi,  sapi dituntut  untuk  makan  konsentrat  dan  rumput yang  telah  disediakan  agar  pertumbuhan  sapi dara tetap stabil (Muljana, 1985).  Kesehatan sapi bisa dicapai dengan tindakan higienis, sanitasi lingkungan, vaksinasi,  pemberian pakan , dan teknis yang tepat (Sugeng, 2000).

2.2.3    Manajemen Sapi Laktasi
Sapi  harus  selalu  bersih  setiap  kali akan diperah, terutama bagian daerah  lipatan paha sampai bagian belakang tubuh sapi perah dan sebaiknya dimandikan sekurangnya satu kali sehari (Syarif  dan Sumoprastowo, 1990). Kandang dibersihkan setiap hari agar sapi senantiasa bersih dan bebas dari kotoran sehingga susu yang diperoleh tidak rusak dan tercemar. Sebelum melakukan pemerahan dilakukan pembersihan lantai kandang,  tempat pakan, tempat minum, dan kemudian membersihkan bagian ambing (Siregar, 1990). Pakan sapi perah laktasi terbagi menjadi dua golongan yaitu pakan  kasar dan  pakan penguat atau  konsentrat (Prihadi, 1996).

2.3       Manajemen Pakan
Ransum ternak besar (sapi) terdiri dari 60% hijauan dan 40% limbah pengolahan  pangan (bekatul dan bungkil), sedangkan pemberian pakan konsentrat hendaknya sebelum hijauan, bertujuan untuk merangsang  pertumbuhan   mikrobia  rumen.  Pakan  hijauan  diberikan setelah pemerahan agar  mikrobia  dalam  rumen  dapat  dimanfaatkan  dan  karbohidrat dapat dicerna (Reksohadiprojo, 1985). Konsentrat berfungsi sebagai suplai energi tambahan dan protein, lebih lanjut dijelaskan bahwa protein  ransun bervariasi langsung  dengan  kandungan  protein  hijauannya,  dimana  campuran  konsentrat dari  bahan  pakan  protein  dan  energy  kandungannya  bervariasi  antara 12% dan 18% PK  (Tillman et al., 1984).  Hijauan diberikan sepanjang hari secara ad libitum,  hijauan  juga  diselingi  dengan  jerami padi sebanyak 1 kg yang diberikan  dua  kali sehari. Pemberian konsentrat dilakukan dua kali sehari sesudah  pemerahan.  Fungsi  utama  dari  pemberian  konsentrat adalah mensuplai energi tambahan yang diperlukan untuk produksi susu secara maksimum  dan  mengatur atau menyesuaikan tingkat protein suatu ransum tertentu  (Prihadi, 1996).  Pemeliharaan sapi perah,  air minum harus selalu ada atau  tersedia  karena air mempunyai fungsi sangat vital (Blakely dan Bade, 1994).  Konsentrat  yang  diberikan  biasanya  digunakan  bersama bahan pakan lain untuk  meningkatkan keserasian gizi dari keseluruhan pakan ( Sindoeredjo, 1970).

2.4    Manajemen Pemerahan
          Pemerahan  adalah  tindakan  mengeluarkan  susu  dari  ambing.  Pemerahan bertujuan  untuk  mendapatkan  produksi  susu  yang  maksimal.  Terdapat  tiga tahap pemerahan yaitu pra pemerahan,  pelaksanaan pemerahan dan pasca pemerahan  (Syarief dan Sumoprastowo, 1990).  Tujuan dari pemerahan adalah untuk mendapatkan jumlah susu yang maksimal dari ambingnya, apabila pemerahan tidak sempurna sapi induk cenderung untuk menjadi kering terlalu cepat dan produksi total menjadi  menurun  (Putra, 2009).
2.4.1    Fase Persiapan
            Sebelum pemerahan dimulai, pemerah mencuci tangan bersih-bersih dan mengeringkannya,  kuku tangan pemerah dipotong pendek agar tidak melukai puting sapi,  sapi yang akan diperah dibersihkan dari segala kotoran, tempat dan peralatan  telah  disediakan  dan dalam keadaan yang bersih (Muljana, 1985). Sebelum  diperah  sapi  dimandikan  terlebih dahulu, ekor diikat ke kakinya agar tidak  mengibas-ibas ketika diperah,  pemerah juga harus  dalam  keadaan  sehat serta setiap puting dicek kesehatannya (Syarief dan Harianto, 2011).

2.4.2    Pemerahan
            Teknik  pemerahan  terdiri dari  dua  cara  yaitu  teknik  pemerahan  tangan  dan  teknik pemerahan  menggunakan  mesin. Teknik pemerahan dengan tangan  ada  dua,  yaitu  dengan  dua  jari dan empat  jari,   pemerahan  dilakukan dengan cara meremas  puting dengan gerakan jari-jari tangan secara berturut turut dari  atas  ke bawah (Siregar, 1990).  Proses pemerahan yang baik harus dalam interval yang teratur, cepat, dikerjakan  dengan kelembutan,  pemerahan dilakukan sampai tuntas, dengan  menggunakan  prosedur  sanitasi,  serta  efisien  dalam penggunaan  tenaga  kerja  (Prihadi, 1996).  Teknik  ini hanya dilakukan pada sapi yang memiliki puting pendek. Teknik pemerahan yang kedua dilakukan dengan cara menggunakan kelima jari.  Puting dipegang  antara  ibu jari  dan  keempat  jari  lainnya,  lalu ditekan dengan keempat jari tadi  (Syarief dan Harianto, 2011).
2.4.3    Pasca Pemerahan
Selesai diperah, ambing dilap  menggunakan  kain  yang  telah dibasahi oleh  desinfektan.  Kemudian dilap kembali dengan kain yang kering. Setelah itu ,puting  juga dicelupkan ke dalam cairan desinfektan selama 4 detik. Semua  peralatan  yang  digunakan  untuk memerah juga harus dibersihkan, kemudian dikeringkan.  Susu hasil pemerahan juga harus segera ditimbang, dicatat, kemudian  disaring  agar  kotoran  saat  pemerahan  tidak  ikut  masuk ke dalam susu  (Syarief dan Harianto, 2011).  Sesudah  pemerahan  sebaiknya  bagian puting dicelupkan  dalam  larutan desinfektan  untuk menghindari terjadinya mastitis (Syarief dan Sumoprastowo, 1990).

2.5    Manajemen Perkandangan
Perkandangan merupakan kompleks tempat tinggal ternak dan pengelola yang digunakan untuk melakukan kegiatan proses produksi dari sebagian atau seluruh kehidupannya dengan segala fasilitas dan peralatannya. Kandang adalah tempat tinggal ternak untuk melakukan kegiatan produksi maupun reproduksi dari sebagian atau seluruh kehidupannya ( Sudarmono, 1993 ).  Pembuatan kandang sapi perah diperlukan beberapa persyaratan yaitu : terdapat ventilasi, memberikan kenyamanan sapi perah, mudah dibersihkan, dan memberi kemudahan bagi pekerja kandang dalam melakukan pekerjaannya (Siregar, 1990).
            Kandang didirikan  untuk melindungi ternak dari hujan dan sengatan sinar matahari yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan kesehatannya. Keseimbangan energi dari hewan sangat dipengaruhi oleh suhu pertukaran di dalam kandang, kelembaban, makanan, kebasahan, kelembaban lantai kandang dan ketebalan kulit dari hewan itu sendiri (Sudarmono, 1993).

2.5.1    Lokasi Kandang
Idealnya,  letak kandang  agak  jauh  dari  pemukiman  penduduk  agar  kebersihan dan kesehatan ternak yang dipelihara terjamin.  Para peternak di Bali  kebanyakan membangun  rumah di tengah kebun atau tegalan yang cukup jauh dari rumah. Namun  karena  faktor  keamanan  tidak  semua peternak dapat  membangun  kandang yang letaknya jauh dari rumah (Guntoro, 2002). Lokasi ideal untuk membangun peternakan sapi perah adalah daerah yang letaknya cukup jauh dari pemukiman tetapi mudah diakses oleh kendaraan. Kandang sebaiknya terpisah dari rumah  tinggal dengan jarak minimum 10 meter dan mendapatkan sinar matahari yang cukup (Syarief dan Harianto, 2011).

2.5.2    Konstruksi Kandang
Konstruksi  kandang  harus  kuat,  mudah  dibersihkan,  mempunyai  sirkulasi udara  yang  baik,  tidak lembab,  tidak  menyebabkan licin dan mempunyai tempat  penampungan  kotoran  beserta  saluran  drainasenya.  Konstruksi kandang harus mampu menahan beban benturan dan dorongan yang kuat dari ternak, serta menjaga keamanan ternak dari pencurian.  Mendesain konstruksi  kandang harus didasarkan agroekosistem silayah setempat, tujuan pemeliharaan dan status fisiologi ternak. Tipe dan bentuk kandang dibedakan menjadi berdasarkan status fisiologis  ternak. Tipe dan Bentuk kandang dibedakan berdasarkan status fisiologis dan pola pemeliharaan dibedakan yaitu kandang pembibitan,  pembesaran, kandang beranak/ menyusui, kandang pejantan (Williamson dan Payne, 1993).  Atap kandang bisa berupa genting atau asbes. Ketinggian atap setinggi 5 meter agar sirkulasi udara berjalan dengan baik. Dinding kandang berupa semen setinggi 1,5 meter  sedangkan bagian atasnya terbuka. Fungsinya untuk  mencegah  terpaan  angin  langsung mengenai sapi.  Sedangkan  alas berupa  tanah  yang  dilapisi  semen  agar  mudah  dalam  membersihkannya (Syarief dan Harianto, 2011).

2.5.3    Tipe Kandang
            Terdapat  dua jenis struktur  kandang  pemeliharaan sapi perah, yaitu kandang tunggal dan kandang  ganda. Kandang tunggal adalah penempatan sapi pada satu baris dan  biasanya dibuat di peternakan skala kecil.  Kandang ganda adalah penempatan sapi pada dua  jajaran yang saling berhadapan atau  saling  membelakangi  (Syarief dan Harianto, 2011).  Bentuk dan tipe kandang sapi perah pada dasarnya tergantung pada jumlah sapi perah yang dipelihara, keadaan iklim dan luas lahan yang dipelihara, selera dari peternak sendiri (Siregar, 1990).

2.5.4    Sanitasi dan Penanganan Limbah
Kandang sapi perah dilengkapi dengan saluran pembuangan berupa selokan kecil yang  memanjang dibagian belakang posisi sapi.  Cara  pengambilan  kotoran biasanya dengan mengguyurkan ke arah kotoran sapi yang berserakan sehingga, kotoran tersebut langsung  mengalir ke suatu bak penampungan (Setiawan, 2003).

2.6    Manajemen Perkawinan
Penerapan  teknik  manajemen perkawinan yang tepat melalui teknik IB maupun perkawinan alam yang sesuai dengan kondisi setempat diharapkan dapat meningkatkan  jumlah  kelahiran  pedet  dan  jumlah  induk berkualitas yang  akhirnya dapat meningkatkan pendapatan petani dari usaha sapi.  Pengamatan  birahi dapat dilakukan setiap hari pada waktu pagi dan sore hari dengan melihat gejala birahi secara langsung dengan tanda-tandan estrus.  Apabila birahi pagi dikawinkan pada sore hari dan apabila birahi sore dikawinkan pada besuk pagi  hingga siang  Affandhy (2007). Lama estrus pada sapi 21 hari  (hari ke 18-23)  dari  perkawinan,  dilakukan melalui  pengamatan  birahi lagi dan apabila tidak ada gejala birahi hinggga dua siklus (42 hari)  berikutnya, kemungkinan sapi induk tersebut berhasil bunting (Boothby et al., 1995).

2.7  Recording
Recording  merupakan   suatu  pencatatan   mengenai  asal-usul ternak,  bobot badan  dan  umur  ternak,  nama  induk dan sebagian tentang perusahaan itu sendiri  (Santoso, 1997).  Lingkar  dada  adalah  salah  satu konformasi tubuh sapi secara visual yang  digunakan  untuk  menghitung bobot badan  (Affandy, 2007).  Kelembaban udara rata-rata pada iklim tropis diatas 60  % (Sugeng, 2000).

                          BAB III


METODOLOGI


Praktikum Manajemen Ternak Perah dilaksanakan pada tanggal 10 Mei 2012 sampai dengan 11 Mei 2012 di Perusahaan Peternakan Sapi Perah Koperasi Serba Usaha Nusantara, Desa Tlogo, Kecamatan Tuntang, Kabupaten Semarang.

3.1. Materi


            Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini antara lain milkcan,  iodine, mesin cowper,  mesin perah,  kandang,  meteran  susu,  meteran, dan gerobak pakan . Bahan yang digunakan antara lain sapi perah.

3.2. Metode


            Metode yang digunakan dalam praktikum ini meliputi pengamatan langsung di lapangan dan wawancara mengenai pengelolaan sapi perah yang meliputi manajemen pemeliharaan sapi perah, manajemen pemerahan, manajemen perkandangan, manajemen pakan serta recording. Manajemen pemeliharaan sapi perah meliputi pemeliharaan umum dan pemeliharaan khusus. Manajemen pemerahan meliputi pengukuran rata-rata produksi susu per sapi, metode yang digunakan, dan lamanya pemerahan. Manajemen perkandangan meliputi pengamatan, pengukuran dan pencatatan kandang sapi perah dan fisiologi lingkungan. Manajemen pakan sapi perah meliputi perkiraan bobot badan (estimasi bobot badan) yaitu dengan mengukur lingkar dada sapi betina, mengamati, menimbang dan mencatat ransum yang diberikan. Recording yaitu dengan wawancara untuk mendapatkan keterangan dari pihak perusahaan.

            BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1  Keadaan Umum
 Peternakan  sapi  perah  koperasi serba usaha Nusantara merupakan perusahaan  bergerak  dibidang  peternakan  sapi  perah dengan menghasilkan  produk  utama  berupa susu. KSU Nusantara terletak di Perkebunan Tlogo, kecamatan  Tuntang,  kabupaten  Semarang.  Luas  area perusahaan  5 m2.  Jumlah ternak  yang  dipelihara ada 57 ekor sapi perah.  Sapi  yang  dipelihara adalah sapi perah  jenis  Peranakan Friesian Holstein (PFH).  Sapi Peranakan Friesian Holstein  memiliki  ciri-ciri seperti warna  bulu  hitam belang putih, tanduk pendek  dan  mengarah  kedepan,  mempunyai sifat tenang dan jinak.  Hal ini sesuai  dengan  pendapat  Muljana  (1985) bahwa sapi perah PFH mempunyai ciri-ciri warna bulu hitam belang putih,  kaki bagian lutut kebawah serta ekor berwarna putih,  terdapat warna putih pada dahi  yang  berbentuk  segitiga,  tanduk pendek dan  mengarah  kedepan,  mempunyai  sifat tenang dan jinak.

4.2  Manajemen Pemeliharaan
 Manajemen  pemeliharaan  yang  dilakukan pada peternakan sapi perah ini adalah sanitasi kandang dan pemeliharaan ternak. Sanitasi kandang dilakukan sebanyak  dua  kali  sehari yaitu di pagi hari dan sore hari.  Sanitasi dilakukan sebelum  pemerahan  pada  ternak. Pemeliharaan  ternak  meliputi  memandikan setiap dua hari sekali, mebersihkan ambing dan ternak sebelum dilaksanakan pemerahan agar susu yang dihasilkan dapat dijamin kebersihannya.  Hal ini sesuai dengan pendapat Sugeng (2000)  yang menyatakan  bahwa  kesehatan sapi bisa dicapai dengan tindakan higienis, sanitasi lingkungan yang rutin, vaksinasi, pemberian  pakan, teknis yang tepat.  Chamberlin (1993) menambahkan bahwa pemeliharan  sapi sebelum pemerahan dilakukan persiapan diantaranya persiapan alat, pembersihan kandang dan sanitasi ternak dengan membersihkan ambing dan puting terlebih dahulu.

4.2.1    Manajemen Pemeliharan Sapi Pedet
Pedet yang dipelihara dipeternakan  ini ada 27 ekor berumur 1 hari- 3 bulan antara lain 8 pedet jantan dan 19 pedet betina.  Pedet di letakkan di kandang yang berbeda dengan induknya, namun masih dekat dengan induknya hal ini dikarenakan  untuk  merangsang  produksi susu dari induknya, selain itu kandang pedet  yang  didekatkan  dengan  induknya  bertujuan  supaya dalam pemberian air  susu ke pedet lebih mudah.  Pakan pedet umur 1 hari- 2 bulan  adalah  susu dari  induknya sebanyak 6 liter/harinya.  Hal ini dilakukan karena lambung pada pedet  belum  berkembang  dengan  sempurna.  Pemberian  pakan  konsentrat dan  hijauan  diberikan pada pedet yang berumur 2-3 bulan dengan tujuan untuk memmancing perkembangan organ pencernaannya. Hal ini sesuai dengan pendapat  Imron  (2009)  bahwa  waktu  kecil  pedet hanya akan mengkonsumsi air  susu  sedikit demi sedikit dan secara bertahap anak sapi akan mengkonsumsi calf starter  (konsentrat  untuk  awal  pertumbuhan  yang  padat  akan  gizi,  rendah  serat  kasar  dan bertekstur lembut) dan selanjutnya belajar  mengkonsumsi  rumput.  Pedet  lepas  sapih sekitar 3-4 bulan.  Cara lepas sapih terhadap  pedet dilakukan setahap demi setahap  mulai  dari  mengurangi  pemberian  air  susu dan mulai memberikan pakan konsentrat dan hijauan.  Setelah  pedet  sudah  suka dengan  pakan tersebut maka susunya dihentikan secara bertahap.  Penyakit  yang  sering  menyerang  pedet pada peternakan ini adalah  mencret.  Penanganan  penyakit  ini  dengan  langsung  diberikan obat.  Hal ini sesuai dengan  pendapat  Siregar (1990) yang menyatakan  bahwa memberikan pakan konsentrat dengan protein kasar dan energi yang cukup pada pedet lepas sapih. Pakan tersebut sangata diperlukan  terutama untuk perkembangan ambing dan juga perkembangan tubuh.  Pemberiaan  pakan  tersebut  dengan  syarat  bahwa  pada  saat sapih  pedet sudah  harus mampu makan  konsentrat  dan  hijauan.   Abbdullah  (2011)  menambahkan  bahwa  pada  kondisi  lepas  sapih  atau sekitar umur empat bulan, sapi diberikan pakan  hay secara bertahap.

4.2.2    Manajemen Pemeliharaan Sapi Dara
Pemeliharaan  sapi dara pada peternakan ini berjumlah 3-4 ekor sapi yang meliputi  sapi  pejantan dan  betina.  Perawatan  sapi  dara yaitu dilakukan sanitasi 2 kali sehari yaitu pada pagi dan siang hari, pemberian pakan seperti biasa hanya jumlah  konsentratnya lebih sedikit.  Setiap 2 hari sekali dilakukan pembersihan ternak  (pemandian ternak).  Ternak  dewasa  kelamin  sekitar umur 13-15 bulan. Pada saat itu ternak akan mengalami birahi. Untuk mengamati atau mengetahui ternak birahi dapat  perhatikan  pada  saluran  reproduksinya  yang  merah, bengkak dan hangat serta dsapat dilihat dari tingkah lakunya yang sering manjat-manjat atau menaiki ternak lain. Ternak mulai dewasa tubuh sekitara umur 1,5 tahun  dan pada saat itu ternak siap untuk dikawinkan yang pertama  kalinya.  Hal  ini  sesuai dengan pendapat  Siregar  (1990)  yang  menyatakan  bahwa  sapi sebaiknya dimandikan setiap hari  dan  pembersihan  kotoran  yang menempel dikulit. Muljana(1985) menambahkan bahwa  dewasa  tubuh  pada  sapi  dara  dapat dicapai pada umur 15-18 bulan. Sehingga pada umur tersebut sapi mulai dapat dikawinkan , hal ini sangat penting supaya sapi betina cepat beranak pada umur 2,5 tahun.
Pemberian  pakan  untuk sapi dara adalah  12 kg  konsentrat dan 20 kg rumput. Pakan diberikan 2 kali sehari. Pemberian konsentrat diebrikan sebelum sanitasi dan  rumput  diberikan  setelah proses pemerahan. Kesehatan ternak dipantau setiap harinya  ketika  ternak sakit langsung ditangani. Misalnya sapi luka pada  putingnya  ditangani dengan  dibersihkannya puting dengan air hangat dan pemerahan dilakukan secara manual agar sapi tidak merasa kesakitan.  Pencegahan penyakit dilakukan  dengan  pemberian  antibiotik.    Hal ini sesuai  dengan  pendapat  Muljana (1985)  bahwa  pertumbuhan dari sapi dara ini tergantung dari cara pemeliharaan dan  pemberian  makanannya.  Biasanya  setelah sapi tidak mendapatkan susu lagi, sapi dituntut  untuk  makan konsentrat dan rumput yang telah disediakan agar pertumbuhan sapi dara tetap stabil.  Sugeng (2000)  menambahkan  bahwa kesehatan sapi bisa dicapai dengan tindakan higienis,  sanitasi  lingkungan, vaksinasi, pemberian pakan , dan teknis yang tepat.
4.2.3    Manajemen Pemeliharaan Sapi Laktasi
Pemeliharaan  sapi  laktasi  ini  dilakukan  secara  rutin  meliputi  perawatan sapi, pemberian pakan dan minum, pemerahan.  Perawatan sapi laktasi terdiri dari pemandian yang dilakukan 2-3 hari sekali,  pembersihan ambing setiap kali akan melakukan pemerahan dengan menggunakan air dan diberi desinfektan (Iodin) . Hal ini sesuai dengan pendapat Syarif  dan  Sumoprastowo (1990)  yang  menyatakan bahwa sapi-sapi harus selalu bersih setiap kali akan diperah, terutama bagian daerah  lipatan  paha sampai bagian belakang tubuh sapi perah dan sebaiknya dimandikan sekurangnya satu kali sehari.  Sanitasi kandang yang meliputi membersihkan kandang dari feses dan kotoran sebelum pemerahan  agar  tidak  menyerap bau yang  tidak enak dan tidak diserap oleh sus pada saat pemerahan.  Hal ini sesuai dengan pendapat Tillman et al., (1984)  menambahkan  bahwa  kandang  dibersihkan setiap hari agar sapi senantiasa bersih dan bebas dari kotoran sehingga susu yang diperoleh tidak rusak dan tercemar. Sebelum melakukan pemerahan dilakukan pembersihan lantai kandang, tempat pakan, tempat minum, dan kemudian membersihkan bagian ambing. Pemberian pakan 2 kali sehari. Pemebrian pakan terdiri dari dua tahap yaitu pemberian konsentrat sebelum pemerahan dan pemberian hijauan setelah pemerahan. Pemberian pakan konsentrat pada sapi laktasi lebih banyak yaitu 14 kg dan hijauan 20 kg. pemberian minum diberikan 1 palung penuh ketika pagi dan pada siang atau sore hari dicek jika habis ditambahkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Prihadi (1996) bahwa pakan sapi perah laktasi terbagi menjadi dua golongan yaitu pakan kasar dan pakan penguat atau konsentrat.
4.3  Manajemen Pakan
Pakan  sapi  perah  terdiri dari hijauan dan konsentrat.  Pakan yang diberikan harus berkualitas yang tinggi dan harus melihat kandungan nutrisi yang dibutuhkan untuk ternak.  Pemberian konsentrat diberikan terlebih dahulu dibandingkan hijauan. Biasanya pemberian pakan konsentrat diberikan dengan bersamaan pakan lain karena untuk mencukupi kebutuhan gizi yang dibutuhkan untuk ternak.  Hal ini sesuai dengan  pendapat  Reksohadiprojo (1985) bahwa umumnya ransum ternak besar (sapi) terdiri dari 60 % hijauan dan 40 % limbah pengolahan pangan (bekatul dan bungkil), sedangkan pemberian pakan konsentrat hendaknya sebelum hijauan, bertujuan untuk merangsang  pertumbuhan mikrobia rumen.  Pakan  hijauan diberikan setelah pemerahan agar mikrobia dalam rumen dapat dimanfaatkan dan karbohidrat dapat dicerna. Sindoeredjo (1970) menambahkan bahwa konsentrat yang diberikan biasanya digunakan bersama bahan pakan lain untuk meningkatkan keserasian gizi dari keseluruhan pakan.  Tilman., et al (1984) menambahkan bahwa konsentrat berfungsi sebagai suplai energi tambahan dan protein, lebih lanjut dijelaskan bahwa protein ransun bervariasi langsung dengan kandungan protein hijauannya, dimana campuran konsentrat dari  bahan  pakan  protein  dan  energi   kandungannya berfariasi antara 12 % dan 18 % PK.
Pemberian pakan dan minum diberikan setiap hari sebanyak 2 kali. Khusus  pemberian air minum diberikan 1 palung penuh ketika pagi dan sore dicek,  jika  air  minum habis ditambahkan.  Hal ini sesuai dengan pendapat Prihadi (1996) bahwa Hijauan diberikan sepanjang hari secara ad libitum, hijauan juga diselingi dengan jerami padi sebanyak 1 kg yang diberikan dua kali sehari. pemberian konsentrat dilakukan dua kali sehari sesudah pemerahan. Fungsi utama dari pemberian konsentrat adalah mensuplai energi tambahan yang diperlukan untuk produksi susu secara maksimum dan mengatur atau menyesuaikan tingkat protein suatu ransum tertentu.

4.4      Manajemen Pemerahan
4.4.1.  Persiapan Pemerahan
Pemerahan dilakukan 2 kali dalam sehari yaitu pada pagi hari jam 06.00 WIB dan sore hari jam 16.00 WIB. Persiapan yang dilakukan yaitu sapi digiring ke tempat pemerahan kemudian sebelum  diperah ambingnya dibersihkan terlebih dahulu dengan menyemprotkan air menggunakan selang serta memberikannya konsentrat agar sapi tenang.  Hal ini sesuai dengan pendapat Muljana (1985) yang menyatakan  bahwa  sebelum pemerahan dimulai,  pemerah mencuci tangan bersih-bersih  dan  mengeringkannya,  kuku tangan pemerah dipotong pendek agar tidak melukai puting sapi, sapi yang akan diperah dibersihkan dari segala kotoran, tempat dan  peralatan  telah  disediakan  dan  dalam  keadaan yang bersih. Syarief dan Harianto (2011)  menambahkan  bahwa sebelum diperah  sapi dimandikan  terlebih dahulu,  ekor diikat ke kakinya agar tidak mengiba-ibas ketika diperah,  pemerah  juga  harus dalam keadaan sehat serta setiap puting dicek kesehatannya.



4.4.2.  Proses Pemerahan
            Berdasarkan  pengamatan,  pemerahan dilakukan dengan dua cara yaitu dengan mesin perah dan dengan tangan. Pemerahan  dengan tangan dilakukan karena hasil yang diperoleh dengan pemerahan mesin kurang maksimal. Pemerahan dengan mesin dilakukan dengan memasangkan Teat Cupleaner  ke tiap puting dan mesin akan langsung bekerja. Hal ini sesuai dengan pendapat Siregar (1990) bahwa teknik pemerahan terdiri 2 cara yaitu teknik pemerahan tangan dan teknik pemerahan menggunakan mesin.  Teknik pemerahan dengan tangan ada dua, yaitu dengan dua jari dan empat jari, pemerahan dilakukan dengan cara meremas puting dengan gerakan jari-jari tangan secara berturut turut dari atas ke bawah. Prihadi (1996) menambahkan bahwa proses pemerahan yang baik harus dalam interval yang teratur, cepat, dikerjakan dengan kelembutan, pemerahan dilakukan sampai tuntas, menggunakan prosedur sanitasi, efisien dalam penggunaan tenaga kerja.

4.4.3.   Pasca Pemerahan     
Setelah diperah, susu yang didapatkan langsung diukur berapa banyak yang dihasilkan dari tiap sapi kemudian dicatat didalam kartu susu. Puting sapi yang telah diperah juga disterilkan kembali dengan mencelupkannya pada larutan desinfektan. Hal ini sesuai dengan pendapat  Syarief dan Sumoprastowo (1990) bahwa sesudah pemerahan sebaiknya bagian puting dicelupkan dalam larutan desinfektan untuk menghindari terjadinya mastitis. Selain itu, peralatan yang digunakan juga dibersihkan kembali.  Syarief dan Harianto (2011) menambahkan bahwa semua peralatan yang digunakan untuk memerah juga harus dibersihkan, kemudian dikeringkan.

4.5  Manajemen Perkandangan
Keadaan  kandang  dan kepadatan kandang. Bangunan kandang terdiri dari model atap miror, bahan atap asbes, rangka atap menggunakan baja tiang menggunakan besi, alas kandang menggunakan karet kepadatan kandang 3,2 m2/ ekor. Hal ini sesuai dengan pendapat Syarief dan Harianto (2011) bahwa atap kandang bisa berupa genting atau asbes. Ketinggian atap setinggi 5 meter agar sirkulasi udara berjalan dengan baik. Dinding kandang berupa semen setinggi 1,5 meter sedangkan bagian atasnya terbuka. Fungsinya untuk mencegah terpaan angin langsung mengenai sapi. Sedangkan alas berupa tanah yang dilapisi semen agar mudah dalam membersihkannya. Bangunan kandang dan ukurannya. Ditambahkan pendapat Siregar (1990) bahwa untuk atap dapat digunakan genting, daun tebu, daun kelapa,alang-alang, rumbia, ataupun ijuk. Pada daerah-daerah yang banyak angin tidak dianjurkan memakai bahan atap dari genting. Sedangkan pada daerah yang berhawa dingin, bahan atap dapat dari asbes ataupun seng Gangway 70cm lebar kandang keseluruhan 24,4 m panjang kandang keseluruhan 37m tinggi atap 10m panjang kandang 16,4 m lebar kandang 3,9m selokan panjang 3,9 m lebar 3,7m tinggi 72cm, tempat pakan dan rumput panjang 1,7m lebar, 58cm, konsentrat panjang 62 cm, lebar 58 cm. tempat minum panjang 1,36m lebar 58 cm. Hal ini sesuai dengan pendapat Williamson dan Payne (1993) bahwa konstruksi kandang harus kuat, mudah dibersihkan, mempunyai sirkulasi udara yang baik, tidak lembab, tidak menyebabkan licin dan mempunyai tempat penampungan kotoran beserta saluran drainasenya. Konstruksi kandang harus mampu menahan beban benturan dan dorongan yang kuat dari ternak, serta menjaga keamanan ternak dari pencurian.  Mendesain konstruksi  kandang harus didasarkan  agroekosistem  wilayah setempat, tujuan pemeliharaan dan status fisiologi ternak. Tipe dan bentuk kandang dibedakan berdasarkan status fisiologis  ternak.  Status fisiologis dan pola  pemeliharaan  dibedakan  menjadi kandang  pembibitan,  pembesaran, kandang beranak/ menyusui, kandang pejantan.

4.6   Manajemen Perkawinan
 Sistem  perkawinan  dilakukan ada 2 cara yaitu perkawinan alam dan perkawinan buatan.  Perkawinan alam adalah perkawinan antara sapi betina dan sapi pejantan sedangkan perkawinan buatan adalah perkawinan dengan cara IB. perkawinan alam dilakukan sesuai dengan kondisi setempat. Di peternakan ini cara perkawinannya  menggunakan  cara IB (Inseminasi Buatan), dikarenakan kondisi pada peternakan ini  tidak  memungkinkan untuk melakukan perkawinan secara alami. Hal ini sesuai dengan pendapat  Affandhy  (2007) bahwa penerapan teknik manajemen  perkawinan  yang  tepat melalui teknik  IB maupun perkawinan alam yang sesuai dengan kondisi setempat diharapkan dapat meningkatkan jumlah kelahiran pedet dan jumlah induk berkualitas yang akhirnya dapat meningkatkan pendapatan petani dari usaha sapi.
Sapi betina dapat dikawinkan pada umur 17 bulan. Lama sapi estrus 21 hari. Kebuntingan dapat diidentifikasi  setelah 21 hari ternak di IB,  kemudian diperhatikan ternak estrus kembali atau tidak pada saat itu. Hal ini sesuai dengan pendapat Boothby., et al (1995) bahwa Setelah 21 hari (hari ke 18-23) dari perkawinan, dilakukan pengamatan birahi lagi dan apabila tidak ada gejala birahi hinggga dua siklus (42 hari) berikutnya, kemungkinan sapi induk tersebut berhasil bunting.ditambahkan pendapat Affandhy (2007) bahwa pengamatan birahi dapat dilakukan setiap hari pada waktu pagi dan sore hari dengan melihat gejala birahi secara langsung dengan tanda-tandan estrus. Apabila birahi pagi dikawinkan pada sore hari dan apabila birahi sore dikawinkan pada besuk pagi hingga siang.

4.7   Recording
          Recording yang dilakukan mencakup semua sistem pemeliharaan ternak sapi perah meliputi produksi susu, reproduksi, kesehatan, iklim, umur, bobot badan, pakan, namun tidak dilakukan pencatatan terhadap tanggal lahir ternak. Produksi susu di pagi hari lebih banyak dibandingkan sore hari. Reproduksi sapi perah di peternakan ini adalah sapi birahi terjadi setelah dewasa kelamin dan dikawinkan pertama kali setelah dewasa tubuh sekitar 1,5 tahun, sapi perah melahirkan pertama kali sekitar 2,5 tahun dan pada umur itu ternak pertama kali diperah. Kesehatan sapi perah tidak laktasi terdapat 1 ekor yang sakit dan ditempatkan dikandang exercise, sedangkan sapi perah laktasi yang sakit ada dua dan tetap diperah. Iklim tropis dengan suhu diperkandangan 21 oC dengan kelembaban 96 %. Umur sapi perah dipeternakan ini rata-rata 2,6 tahun dan bobot badan yang dimiliki sekitar 370,56 kg.  Pakan yang diberikan adalaha rumput gajah dan konsentrat yang dibeli di PT. Tossa. Hal ini sesuai dengan pendapat Santoso (1997) yang menyatakan bahwa recording meliputi pencatatan tentang asal-usul ternak, bobot badan dan umur ternak, nama induk, dan sebagian tentang perusahaan itu sendiri.  Ditambahkan pendapat Imron  (2009) bahwa lingkar dada adalah salah satu konformasi tubuh sapi secara visual yang digunakan untuk menghitung bobot badan.  Diperkuat pendapat Sugeng (2000) bahwa kelembaban udara rata-rata pada iklim tropis diatas 60 %
               BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan  praktikum manajemen ternak perah di peternakan Koperasi Serba Usaha Nusantara didapatkan kesimpulan bahwa manajemen pemeliharaan pada pedet dan sapi dara memiliki perbedaan pada manajemen pemberian pakannya. Manajemen pemeliharaan pedet hanya mengkonsumsi air susu terus menerus dan manajemen pemeliharaan sapi dara mengurangi pemberian air susu dan menggantinya dengan konsentrat dan hijauan agar lambung pada sapi dapat berkembang dan pertumbuhan tetap stabil. Sanitasi dilakukan hanya 2 kali yaitu pagi dan sore hari. Sanitasi pagi hari dilakukan sebelum pemerahan. Pemerahan dilakukan dengan 2 cara yaitu dengan mesin perah dan dengan manual. Berdasarkan pengamatan hasil rata-rata produksi susu sebanyak 8,57 liter. Pemerahan manual dilakukan karena hasil dari pemerahan mesin kurang maksimal.
DAFTAR PUSTAKA
Abbdullah. 2011. Analisis Pola Pertumbuhan Sapi Perah Fries Holland (FH) Betina Sampai Kawin Pertama. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian, Bogor.

Affandhy, Dicky Mohammad Dikman, Aryogi.2007. Petunjuk Teknis Manajemen Perkawinan Sapi Potong. Pusat Penelitian dan Penggemukkan Peternakan, Pasuruan. VII + 43 halaman.

Blakely, J. dan H. Bade, D. 1994. Ilmu Peternakan. Edisi keempat. Gadjah Mada   University Press. Yogyakarta. (Diterjemahkan oleh Bambang Srigondono).

Boothby, D. and G. Fahey, 1995. A Practical Guide Artificial Breeding of
Cattle. Agmedia, East Melbopurne Vic 3002. pp 127.

Chamberlain. 1993. Milk Production in The Tropics. Intermediate Tropical
Agriculture Series. Longman Scientific and Technical, England.

Guntoro, S. 2002. Membudidayakan Sapi Bali. Kanisius, Yogjakarta.

Imron, Muhammad. 2009. Manajemen Pemeliharaan Pedet.http://betcipelang.info.

Muljana, W. 1985. Pemeliharaan dan Ternak Kegunaan Sapi Perah. Aneka Ilmu. Semarang.

Prihadi. 1996. Tata Laksana dan Produksi Sapi Perah. Fakultas Peternakan Universitas Wangsa Manggala. Yogyakarta.

Putra, A. 2009. Potensi Penerapan Produksi Bersih Pada Usaha Peternakan Sapi erah (Studi Kasus Pemerahan susu sapi Moeria Kudus Jawa Tengah). Magister Ilmu Lingkungan Universitas Diponegoro, Semarang

Reksohadiprodjo, S. 1985. Pengantar Ilmu Peternakan Tropik. Fakultas Peternakan Universitas Gajah Mada. Puspaswara. Jakarta.

Santosa, U. 1997. Prospek Agribisnis Penggemukan Pedet. Penebar Swadaya. Jakarta.

Setiawan, A.I. 2003. Memanfaatkan Kotoran Ternak. Penebar Swadaya, Jakarta.

Sindoeredjo, S. 1970. Pedoman Perusahaan Pemerahan Susu. Proyek Pengembangan Produksi Ternak. Dirjen Peternakan. Jakarta.

Siregar, Soribasya, M.S. 1990. Sapi Perah. Penebar Swadaya, Jakarta.
Soetardi, T. 1995. Peningkatan Efisiensi Penggunaan Pakan. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan. Bogor.

Sudarmono. 1993. Kandang Ternak Perah. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Frey, J.K.R., Frahm, J.V. Whitemen J.E., Tamer & D.F. Stephen. 1972. Evaluation of Cow Type Classification Score and Its Relationship to Cow Productivity. J. of An. Sci., 31 : 171 (Abstr).

Sudono, A., Rosdiana, F., Setiawan, B.S. 2000. Beternak Sapi Perah Secara Intensif. Agromedia Pustaka, Jakarta Sudono, A. 1984. Pedoman Beternak Sapi Perah. Direktorat Jenderal Peternakan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Sugeng. Y. B. 2000. Ternak Potong dan Kerja edisi 1. CV. Swadaya, Jakarta.

Syarief, M. Z. dan C. D. A. Sumoprastowo.1990. Ternak Perah. CV. Yasaguna. Jakarta.

Syarif, E dan Harianto, B. 2011. Buku Pintar Beternak dan Bisnis Sapi Perah. Agromedia Pustaka, Jakarta.

Tillman, A.D., H. Hartadi., S. Reksohadiprodjo, S. Prawirokusumo dan S. Lebdosukojo. 1984. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada Univ. Press. Yogyakarta.

Williamson, G. dan W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan Di Daerah Tropis. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. (diterjemahkan oleh Bambang Srigandono).

.



.