Sunday, June 23, 2013

Laporan TPP Fermentasi

BAB I
PENDAHULUAN
Pakan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam menunjang usaha peternakan. Mutu bahan pakan yang diberikan kepada ternak secara langsung akan dapat mempengaruhi tingkat produksi dan produktivitas ternak yang dipelihara. Pakan berkualitas tinggi adalah pakan dengan kandungan zat-zat nutrisi yang lengkap yang sangat diperlukan oleh tubuh ternak seperti protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan air. Berbagai masalah yang timbul tentang hijauan pakan di Indonesia, diantaranya adalah kesulitan dalam memanfaatkan dan mempertahankan kualitas produksi hijauan yang meningkat pada musim hujan, hal tersebut dapat diatasi dengan upaya mengolah dan mengawetkan bahan pakan, terutama hijauan menjadi pakan yang mempunyai kualitas lebih baik. Salah satu upaya yang dapat dilakukan yaitu perlakuan fermentasi.
Tujuan dari Praktikum Teknologi Pengolahan Pakan adalah agar mahasiswa dapat memahami dan mampu melakukan pengolahan dan pengawetan bahan pakan dengan proses fermentasi terhadap bahan pakan. Manfaat dari praktikum adalah mahasiswa mampu mengetahui kualitas hasil fermentasi dilihat dari organoleptik yang meliputi bau, rasa, tekstur, warna, jamur, penggumpalan, dan pH.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Bekatul

Bekatul adalah bagian terluar dari bagian bulir yang terbungkus oleh sekam. Bulir adalah buah sekaligus biji berbagai tumbuhan serealia sejati, seperti padi, gandum, dan jelai. Istilah bekatul terutama disematkan kepada padi, karena serealia inilah yang dikenal dalam budaya Nusantara. Namun demikian, bekatul dapat diperoleh pula dari jagung, gandum, milet, serta jelai.Asal-usul bekatul secara anatomi adalah lapisan aleuron dan sebagian perikarp yang terikut. Aleuron adalah lapisan sel terluar yang kaya gizi dari endospermium, sementara perikarp adalah bagian terdalam dari sekam. Bekatul padi dapat dilihat pada beras yang diperoleh dari penumbukan. Proses pemisahan bekatul dari bagian beras lainnya dikenal sebagai penyosohan (polishing) untuk memperpanjang masa penyimpanan beras, sekaligus memutihkannya. (Anonimous, 2013).
Menurut Auliana (2011) potensi bekatul sebagai makanan bergizi tinggi berkorelasi dengan produksi beras sebagai konsumsi utama makanan pokok masyarakat Indonesia. Namun demikian bekatul memiliki kelemahan mudah rusak oleh aktivitas hidrolitik dan oksidatif enzim lipase yang berasal dari dalam bekatul (endogenous) maupun aktivitas mikroba sehingga merusak senyawa bioaktif sehingga untuk mempertahankannya, maka seluruh komponen penyebab kerusakan harus dikeluarkan atau dihambat. Metode yang dapat digunakan adalah perlakuan fisik, mekanis, atau kombinasi keduanya, misalnya pembuatan bekatul menjadi makanan lain yang lebih awet merupakan salah satu cara mempertahankan senyawa bioaktif yang bermanfaat bagi kesehatan. Kerusakan bekatul juga terutama karena kandungan asam lemak tidak jenuhnya yang tinggi yang biasanya diawali dengan tanda kerusakan tengik (rancidity), oleh karena itu bekatul segar hanya memiliki umur simpan 24 jam. Setelah itu bekatul harus diawetkan dan disimpan dalam almari es untuk digunakan atau diolah menjadi bebagai produk.

2.2. Garam

Secara fisik, garam adalah benda padatan berwarna putih berbentuk kristalyang merupakan kumpulan senyawa dengan bagian terbesar Natrium Chlorida (>80 %) serta senyawa lainnya seperti Magnesium Klorida, Magnesium Sulfat,Kalsium Klorida dan lain-lain. Garam mempunyai sifat/karakteristik higroskopisyang berarti mudah menyerap air, bulk density (tingkat kepadatan) sebesar 0,8 – 0,9 dan titik lebur pada tingkat suhu 800 C (Burhanuddin, 2001). Fungsi garam pada proses fermentasi adalah sebagai penyuplai NH3, ini digunakan sebagai sumber energi bagi mikrobia dalam proses fermentasi, sehingga fungsi urea ialah tidak sebagai penambah nutrisi pakan melainkan berfungsi sebagai katalisator dalam proses fermentasi (Liptan, 2000).

2.3. Ragi

Ragi (yeast) merupakan fungi yang tidak mempunyai kemampuan membentuk miselium dan pada tahap tertentu dalam siklus kehidupannya berbentuk sel-sel tunggal yang bereproduksi dengan buah (budding) atau pemecahan (fission). Ragi merupakan organisme fakultatif yang mempunyai kemampuan menghasilkan energi dari senyawa organik dalam kondisi aerob maupun anaerob sehingga ragi dapat tumbuh dalam kondisi ekologi yang berbeda. Ragi dapat tumbuh dan berkembang biak lebih cepat daripada fungi yang bermiselium (Wina, 1999). Dalam bobot kering, ragi memiliki kadar protein 42.92%, lemak 0.66%, karbohidrat 51.44% serta abu 4.98% (Chumaedi dan Djajadireja, 1982).

2.4. Molases

Molases adalah sejenis sirup yang merupakan sisa dari proses pengkristalan gula pasir. Molases tidak dapat dikristalkan karena mengandung glukosa dan fruktosa yang sulit untuk dikristalkan (Pramana, 2008). Ketersediaan molases di Indonesia cukup banyak. Hal ini berkorelasi dengan luas areal perkebunan tebu yang semakin meningkat. Molases adalah hasil sampingan yang berasal dari proses pembuatan gula tebu (Saccharum officinarum). Molases berupa cairan kental dan diperoleh dari tahap pemisahan kristal gula yang tidak dapat dibentuk lagi menjadi sukrosa namun masih mengandung gula dengan kadar tinggi (50 – 60 persen), asam amino dan mineral. Tingginya kandungan gula dalam bentuk molases sangat potensial dimanfaatkan sebagai bahan baku bioetanol. Molases dapat juga digunakan secaralangsung atau bahan baku pembuatan produk – produk yang bernilai ekonomis, misalnya kecap, pupuk, pakan ternak ataupun industri fermentasi (Paturau, 1982).

BAB III
MATERI DAN METODE
3.1. Materi
Alat yang digunakan dalam pembuatan fermentasi pakan antara lain plastik bening sebagai tempat bahan yang akan difermentasikan, timbangan untuk menimbang bahan sumber karbohidrat yaitu bekatul, gelas ukur untuk mengukur air yang akan digunakan dalam fermentasi, kertas label dan spidol untuk memberi kode pada tiap plastik yang berisi bahan fermentasi, serta pH meter untuk mengukur pH nya, dan nampan sebagai tempat untuk mencampur bahan yang digunakan.
Bahan yang digunakan yaitu bekatul sebagai sumber karbohidrat, molases dan ragi sebagai pembuat starternya, garam dan air.

3.2. Metode
Langkah pertama dalam pembuatan fermentasi adalah menimbang bekatul sebanyak 300 gram, garam sebanyak 0,5 gram, ragi 9 gram dan molases 0,54 gram. Meletakkan semua bahan kedalam nampan lalu mencampurnya hingga homogen. Mengambil air dengan gelas ukur sebanyak 556 ml lalu menambahkannya sedikit demi sedikit ke dalam nampan bersama bahan yang lainnya. Membagi bahan yang ada di nampan menjadi 6 bagian lalu masukkan ke dalam 6 plastik bening yang ada secara perlahan sehingga tidak ada udara di tengahnya, lalu memadatkan dan menutupnya dengan rapat. Melakukan pemeraman selama 1 minggu dan menguji secara organoleptik setiap harinya.
Kadar air yang dibutuhkan =

BAB III
HASIL PEMBAHASAN
3.1. Data Pengamatan Organoleptik Fermentasi Molases
Praktikum mengenai fermentasi molases, diperoleh hasil:
Tabel 1. Hasil Pengamatan Organoleptik Fermentasi Molases
Hari ke
Uji Organoleptik
Bau
Tekstur
Warna
Jamur
Penggumpalan
pH
0
Sedang
Lembek
Coklat
-
-
5,25
1
Asam
Sedang
Coklat
-
-
4,76
2
Sedikit Asam
Kental
Coklat
-
-
4,62
3
Asam
Lembek
Coklat
-
-
4,11
4
Asam
Sedang
Coklat
-
-
4,10
5
Asam
Sedang
Coklat
-
-
3,97
6
Asam
Sedang
Coklat
-
Sedikit

Skor
9
6
6
9
9
9
Sumber: Data Primer Praktikum Teknologi Pengolahan Pakan, 2013

3.1.1. Bau dan Rasa

Berdasarkan data pengamatan pembuatan fermentasi pada bekatul diperoleh hasil pada hari ke- 0 memiliki bau tidak terlalu asam, hari ke-1 baunya menjadi asam, hari ke-2 baunya tidak asam, hari ke-4 baunya menjadi asam kembali, hari ke-5 baunya asam, dan hari terakhir baunya tetap asam. Keasaman yang terjadi dari tiap hari proses fermentasi yang semakin lama maka akan semakin meningkat. Bau asam pada molases tersebut dapat disebabkan oleh adanya peningkatan kandungan asam laktat karena aktivitas mikrobia dari ragi yang mampu memecah karbohidrat molases menjadi asam laktat. Proses fermentasi dengan asam laktat membutuhkan keadaan yang anaerob dan diawali dengan proses glikolisis karbohidrat yang menghasilkan asam piruvat, proses selanjutnya adalah perubahan asam piruvat menjadi asam laktat. Hal ini sesuai dengan pendapat Ferdinand dan Ariebowo (2007) yang berpendapat bahwa proses fermentasi asam laktat diawali dengan glikolisis karbohirat yag menghasilkan asam piruvat, proses selanjutnya adalah perubahan asam piruvat menjadi asam laktat. Amerine et al., (1972) menambahakan bahwa semakin lama fermentasi maka asam-asam yang mudah menguap jumlahnya akan semakin banyak. Dengan semakin banyaknya asam-asam mudah menguap ini akan mengakibatkan timbulnya bau khas yang sedikit asam.

3.1.2. Tekstur

Berdasarkan data pengamatan pembuatan fermentasi pada bekatul diperoleh hasil hari ke-0 hingga hari ke-6 teksturnya masih lembek dan tidak terjadi pengerasan pada pakan. Perubahan tekstur molases tersebut dapat disebabkan olehsemakin banyaknya asam-asam organik yang dihasilkan, asam-asam organik tersebut berbentuk cair, sehingga mengakibatkan perubahan tekstur yang menjadi lebih lembek. Hal ini sesuai dengan pendapat Amerine et al., (1972) yang berpendapat bahwa asam-asam organik seperti asam laktat berbentuk cairan. Mujumdar (1995) menambahkan bahwa kadar air dari hasil fermentasi berpengaruh pada tekstur yang berubah menjadi lebih lembek.


3.1.3. Warna
Berdasarkan data pengamatan pembuatan fermentasi pada bekatul diperoleh hasil warnanya tetap coklat dan tidak mengalami perubahan apapun dari hari ke-0 sampai hari ke-6. Warna coklat ini ditimbulkan oleh pengaruh suhu yang terjadi saat proses fermentasi tersebut berlangsung. Faktor yang dapat mempengaruhi warna dari hasil fermentasi molases dengan ragi antara lainadanya tambahan kadar air sebagai hasil dari proses fermentasi yang menghasilkan etanol, CO2 dan H2O sehingga warna dari molases menjadi lebih pudar akibat terkena tambahan air dari hasil fermentasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Hawab (2004) yang berpendapat bahwa hasil akhir reaksi fermentasi pada suasana anaerob adalah etanol, CO2 dan H2O. Ngili (2009) juga menambahkan bahwa etanol, CO2 dan H2O dihasilkan dari proses pemecahan glukosa dalam proses fermentasi yang bersuasana anaerob. Sesuai dengan Winarno et. al., (1980) bahwa naiknya suhu pada awal fermentasi menyebabkan mailard, yaitu proses terjadinya reaksi gula pereduksi dengan senyawa yang bergugus NH2 yang menghasilkan furfural dehid yang berwarna melanoidin sehingga terjadi warna coklat.

3.1.4. Jamur

Berdasarkan data pengamatan pembuatan fermentasi pada bekatul diperoleh hasil tidak ditemukannya jamur yang tumbuh selama proses fermentasi, meski plastik tempat untuk fermentasi sempat mengembang bahkan sampai meletus. Hal tersebut menunjukkan bahwa kondisi untuk fermentasi sudah anaerob sehingga tidak ada kesempatan bagi jamur untuk tumbuh. Selain itu, fermentasi merupakan proses perubahan gradual oleh enzim beberapa bakteri, khamir dan jamur yang terjadi secara anaerob. Hidayat et al., (2006) berpendapat bahwa fermentasi merupakan proses perubahan gradual oleh enzim beberapa bakteri yang terjadi secara anaerob. Krisnan (2008) menambahkan bahwa aktivitas air digunakan untuk mengetahui seberapa jauh bahan tersebut telah mengalami kerusakan yang disebabkan jamur, khamir, bakteri, enzim dan kerusakan kimia lainnya..

3.1.5. Penggumpalan
Berdasarkan data pengamatan pembuatan fermentasi pada bekatul diperoleh bahwa pakan hasil fermentasi mengalami sedikit penggumpalan. Penggumpalan dapat disebabkan pertumbuhan mikrobia pendegradasi karbohidrat yang dalam pertumbuhannya akan menghasilkan beberapa bentuk. Hal ini sesuai dengan pendapat Buckle et al., (1985) yang berpendapat bahwa mikroorganisme pendegradasi karbohidrat (khamir maupun fungi) dalam pembelahan selnya akan menghasilkan beberapa bentuk seperti bentuk bola (spheroidal), bentuk telur (ovoidal), bentuk silinder (cylindrical), bentuk lengkung (ogival), bentuk segitiga (triangular), bentuk botol (flask shaped) dan bentuk apikulat (apiculate). Paturau (1982) juga menambahkan bahwa mikrobia pendegradasi karbohidrat (khamir) berbentuk oval tidak beraturan dan berukuran antara 5 – 20 mikron.










3.1.6. pH
Berdasarkan data pengamatan pembuatan fermentasi pada bekatul diperoleh bahwa pakan hasil fermentasi pH-nya pada hari ke-0 adalah 5,25, hari ke-1 adalah 4,76, hari ke-2 menjadi semakin asam lagi yaitu 4,62, hari ke-3 semakin menurun menjadi 4,11 hari ke-4 adalah 4,10, hari ke-5 menjadi turun semakin asam yaitu 3,97, dan pada hari terakhir pH-nya dibawah 3,97. Penurunan nilai pH tersebut dapat disebabkan oleh adanya aktivitas mikrobia yang menyebabkan meningkatnya kandungan asam dalam molases, sehingga pH molases menurun dan menjadi semakin asam. Keadaan asam ini disebabkan oleh oksidasi etanol menjadi asetildehid yang selanjutnya dioksidasi menjadi asam laktat. Kondisi ini akan menyebabkan suasana menjadi asam. Hal ini sesuai dengan pendapat Sebayang (2006) yang berpendapat bahwa keadaan asam dari hasil fermentasi molases disesbabkan oleh teroksidasinya etanol menjadi asetildehid yang selanjutnya mengalami oksidasi lanjutan menjadi asam laktat. Simbolon (2008) juga menambahkan bahwa semakin banyak jumlah karbohidrat yang dirombak menjadi glukosa, asam asetat, alkohol dan senyawa lainnya mengakibatkan penurunan pH menjadi lebih asam.


BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan bahwa hasil fermentasi cukup baik karena baunya tidak busuk, tidak terjadi penggumpalan dan pH cukup baik. Namun, warnanya kuning sedikit kecoklatan, teksturnya kurang lemas (sedikit kaku).
4.2. Saran
Sebaiknya saat menutup wadah yang digunakan untuk proses fermentasi benar- benar tertutup rapat sehingga kondisinya menjadi anaerob. Selain itu sebelum pengujian sebaiknya di angin–anginkan terlebih dahulu dan bahan fermentasi dipastikan tercampur dengan sempurna agar didapatkan pH yang stabil dan memiliki kriteria yang baik.


DAFTAR PUSTAKA
Amerine, M., A. Berg and M. V. Croes. 1972. The Technology of Wine Making, The AVI Publishing Company, Wesport, Connecticut.
Anonimous. 2013. Amoniasi Jerami Padi Sebagai Pakan Ternak. (www.sinartani.com/mimbarpenyuluh/amoniasi-jerami-padi-sebagai-akan-ternak-1228791078.) diakses 29 Mei 2013.
Auliana, R. 2011. Seminar Nasional Dharma Wanita, Fakultas Teknik UNY, Yogyakarta.
Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet, dan M. Wooton. 1985. Ilmu Pangan. Diterjemahkan oleh Pumomo, H. dan Adiono. 1985. Universitas Indonesia Press, Jakarta.
Burhanuddin. 2001. Strategi Pengembangan Industri Garam di Indonesia, Kanisius, Yogyakarta.
Chumaedi dan Djajadireja. 1982. Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, Tira Pustaka, Jakarta.
Hawab, H. M. 2004. Pengantar Biokimia. Banyumedia, Malang.

Krisnan, R. 2008. Perubahan Karakteristik Fisik KonsentratDomba Selama Penyimpanan. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Sei Putih, Galan Kusumawardana, A. 2007. Pengaruh Penambahan Aditif Umbi Ketela Pohon Pada Silase Pakan Lengkap Terhadap pH dan Perubahan Kandungan Nutrien Pakan . Skripsi Jurusan Nutrisi dan Makanan Ternak FAPET UB. Malang.
Lembar informasi pertanian (Liptan) IP2TP Mataram.2000. Pembuatan Jerami Fermentasi. Instalasi Penelitian dan Pengkajian teknologi Pertanian Mataram, Mataram. (www.sinartani.com/.../amoniasi-jerami-padi-sebagai-pakan-ternak-1228791078.htm). akses 30 Mei 2013.
.Lubis, D. A. 1992. Ilmu Makanan Ternak, Jakarta, PT Pembangunan.
Mujumdar, A S. 1995. Handbook of Industrial Drying, 2nd edition, Marcel Dekker, New York.
Ngili, Y. 2009. Biokimia Struktur dan Fungsi Biomolekul. Graha Ilmu, Yogyakarta.
Pramana. 2008. Potensi Molases di Indonesia beserta Klasifikasi Penggunaannya, Pustaka Karya, Bandung.
Paturau. 1982. Ragam Pemberian Molases dalam Industri Agribisnis, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Sebayang, F. 2006. Pembuatan Etanol dari Molases Secara Fermentasi Menggunakan Sel Saccharomyces cerevisiae yang Terimobilisasi pada Kalsium Alginat. Jurnal Teknologi Proses 5 (2): 75-80.
Simbolon, K. 2008. Pengaruh Persentase Ragi Tape dan Lama Fermentasi Terhadap Mutu Tape Ubi Jalar.Departemen Teknologi Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara (Skripsi).
Syamsu, A.J. 2001 Kualitas Jerami Padi yang Difermentasi dengan Manure Sebagai Pakan Ruminansia. Animal Production 3(62-66).
Wina, E. 1999. .Pemanfaatan Ragi (Yeast) Sebagai Pakan Imbuhan untuk Meningkatkan Produktivitas Ternak Ruminansia, Balai Penelitian Ternak, Bogor.

Laporan TPP Amoniasi

BAB I
PENDAHULUAN
Eceng gondok (Eichhorniacrassipes) adalah salah satu jenis tumbuhan air mengapung. Eceng gondok memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi sehingga tumbuhan ini dianggap sebagai gulma yang merusak lingkungan perairan. Eceng gondok dengan mudah menyebar melalui saluran air ke badan air lainnya. Eceng gondok yang dianggap sebagai gulma dapat digunakan sebagai bahan pakan ternak yang mengandung protein kasar cukup tinggi. Maka pengolahan yang paling tepat untuk eceng gondok dengan proses amoniasi untuk meningkatkan nilai N dalam bahan pakan tersebut. Amoniasi merupakan salah satu perlakuan kimiawi dengan menggunakan urea yang bersifat alkalis yang dapat melarutkan hemiselulosa.
Tujuan dari praktikum amoniasi adalah supaya praktikan mampu meningkatkan kualitas hijauan pakan berserat dengan pengolahan secara amoniasi, membuat amoniasi dengan cara sederhana dan dengan cara yang benar, mampu mengenal dan menentukan bahan dan peralatan yang biasa digunakan untuk membuat amoniasi, mampu menilai kualitas amoniasi yang dibuat. Manfaat dari praktikum amoniasi adalah supaya praktikan dapat membuat amoniasi sederhana dan dapat menilai kualitasnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Amoniasi
Amoniasi merupakan suatu poses perombakan dari struktur keras menjadi struktur yang lebih lunak (hanya struktur fisiknya) dan penambahan unsur N saja, prinsip dalam teknik amoniasi ini adalah penggunaan urea sebagai sumber amoniak yang dicampurkan ke dalam bahan. Urea dalam proses amoniasi berfungsi untuk menghancurkan ikatan-ikatan lignin, selulosa, dan silika yang terdapat pada bahan pakan, karena lignin, selulosa, dan silika merupakan faktor penyebab rendahnya daya cerna bahan pakan (Liptan, 2000). Amoniasi merupakan proses perlakuan terhadap bahan pakan limbah pertanian yang pada umumnya jerami padi dengan cara menambahkan bahan kimia berupa NaOH, sodium hidroksida (KOH atau CO(NH2)2) (Kartadisastra, 1997).
Kualitas amoniasi dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti asal atau bahan pakan, temperatur penyimpanan, kepadatan dan kondisi an-aerob pada proses amoniasi berlangsung (Regan, 1997). Manfaat amoniasi adalah merubah tekstur jerami yang semula keras berubah menjadi lunak, warna berubah dari kuning kecoklatan menjadi coklat tua. Kualitas dari amoniasi yang baik tidak terjadinya penggumpalan pada seluruh atau sebagian jerami (Rahardi, 2009).
Ciri-ciri amoniasi yang baik yaitu memiliki bau yang khas amonia, berwarna kecoklat-coklatan seperti bahan asal, tekstur berubah menjadi lebih lunak dan kering. Hasil amoniasi lebih lembut dibandingkan jerami asalnya, tidak berjamur atau menggumpal, tidak berlendir dan pH yang dihasilkan sekitar 8 (Sumarsih, 2003). Penggunaan NH3 gas yang dicairkan biasanya relative mahal, selain harganya relatif mahal juga memerlukan tangki khusus yang tahan tekanan tinggi minimum (minimum 10 bar). Amoniasi mempunyai beberapa keuntungan antara lain sederhana cara pengerjaannya dan tidak berbahaya, lebih murah dan mudah dikerjakan dibanding dengan NaOH, cukup efektif untuk menghilangkan aflatoksin khususnya pada jerami, meningkatkan kandungan protein kasar dan tidak menimbulkan polusi dalam tanah (Siregar, 1995).

2.2. Enceng Gondok

Tumbuhan Eceng gondok adalah gulma air yang berasal dari Amerika Selatan. Tumbuhan ini mempunyai daya regenerasi yang cepat karena potongan-potongan vegetatifnya yang terbawa arus air akan terus berkembang menjadi eceng gondok dewasa. Eceng gondok sangat peka terhadap keadaan yang unsur haranya didalam air kurang mencukupi tetapi mempunyai respon terhadap konsentrasi unsur hara yang tinggi (Zaman dan Sutrisno, 2006). Eceng gondok memiliki kecepatan tumbuh yang tinggi. Eceng gondok dengan mudah menyebar melalui saluran air ke badan air lainnya, sehingga tumbuhan ini dianggap sebagai gulma karena dapat merusak lingkungan perairan. Tanaman eceng gondok mengandung 17,2% protein kasar, 15-18% serat dan 16-20% abu, yang terdiri dari beberapa komponen, seperti; hidrogen, kalium, kalsium, karbon, belerang, mangan dan lain-lain. Komponen kimia yang terkandung dalam tanaman eceng gondok tergantung pada kandungan unsur hara tempat tumbuh dan sifat daya serap tanaman tersebut. Eceng gondok dapat menyerap logam-logam berat dan senyawa sulfid. Selain itu, eceng gondok mengandung protein lebih dari 11,5% atas dasar berat kering dan mengandung selulosa yang lebih tinggi daripada non selulosanya, seperti; lignin, abu, lemak dan zat-zat lain (Sawitri dan Sutrisno, 2007).

2.3. Urea
Urea merupakan suatu senyawa organik yang terdiri dari unsure karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen dengan rumus CON2H4 atau (NH2)2CO. (Anonimus, 2009). Urea juga dikenal dengan nama carbamide yang terutama digunakan di kawasan Eropa, selain itu nama lain yang juga sering dipakai adalah carbamide resin, iso urea, carbonyl diamide dan carbonyl diamine. Urea digunakan sebagai sumber amonia karena bersifat alkali dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan karena sifatnya yang mudah hilang (menguap) dan dapat difiksasi oleh tanaman dan juga mikrobia (Sutrisno, 2002). Fungsi urea pada proses pembuatan fermentasi adalah sebagai pensuplai NH3, ini digunakan sebagai sumber energi bagi mikrobia dalam poses fermentasi, sehingga fungsi urea ialah tidak sebagai penambah nutrisi pakan melainkan berfungsi sebagai katalisator dalam proses fermentasi (Liptan, 2000).


BAB III
MATERI DAN METODE
Praktikum Teknologi Pengolahan Pakan dengan materi Amoniasi dilaksanakan pada tanggal 8 – 28 Mei 2013 pada pukul 13.00 15.00 WIB, di Laboratorium Teknologi Pakan Fakultas Peternakan dan Pertanian Universitas Diponegoro Semarang.

3.1. Materi
Materi yang digunakan dalam praktikum Teknologi Pengolahan Pakan dengan materi amoniasi adalah enceng gondok sebanyak 100 gram, urea sebanyak 7 gram dilakukan penimbangan 3 kali. Alat yang digunakan adalah timbangan yang berfungsi untuk menimbang enceng gondok dan urea, nampan plastik sebagai tempat mencampurkan enceng gondok dan urea, kantong plastik untuk membungkus enceng gondok, isolasi besar untuk merapatkan amoniasi enceng gondok dalam kantong plastik, pH meter untuk mengukur pH dari amoniasi enceng gondok.

3.2. Metode
Metode yang dilakukan dalam pembuatan amoniasi eceng gondok yaitu menimbang eceng gondok sebanyak 100 gramdan urea 7 gram sebanyak 3 kali. Lalu setiap menimbang 100 gram eceng gondok dan mencampurkannya dengan 7 gram urea sampai merata dan kemudian melakukan uji organoleptik. Selanjutnya memasukkanya ke dalam plastik lalu menutupnya dengan rapat menggunakan solasi kemudian memberinya label, dan terakhir adalah melakukan pemeraman selama 3 minggu, yang mana setiap minggunya melakukan pengamatan organoleptik yang meliputi warna, bau, tekstur, dan pH setiap seminggu sekali.


BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Amoniasi
Berdasarkan hasil praktikum amoniasi eceng gondok diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 2. Data Pengamatan Organoleptik Amoniasi (Eceng Gondok + Urea)
Uji Organoleptik
Minggu ke-1
Minggu ke-2
Minggu ke-3
Skor
Warna
Hijau kecoklatan
Hijau kecoklatan
Hijau kecoklatan
9
Bau
Amonia agak menyengat
Amonia agak menyengat
Amonia sangat menyengat
9
Tekstur
Lembut
Agak remah
Sedang
4

pH
6,35
11,29
10,37
9

Jamur
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
9

Penggumpalan
Tidak ada
Tidak ada
Tidak ada
9
Sumber : Data Primer Praktikum Teknologi Pengolahan Pakan, 2013.
4.2. Warna
Berdasarkan hasil pengamatan warna pada amoniasi eceng gondok diperoleh hasil padaminggu pertama warnanya hijau kecoklatan, minggu kedua dan ketiga warnanya hijau kecoklatan. Hal ini menunjukkan bahwa terjadinya proses fermentasi. Hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Reksohadiprodjo (1988) yaitu perubahan warna terjadi pada tanaman yang mengalami proses ensilase yang disebabkan oleh perubahan-perubahan yang terjadi dalam tanaman karena proses respirasi anaerobik yang berlangsung selama persediaan oksigen masih ada hingga gula tanaman habis. Perubahan warna tersebut karena pembuatan amoniasi tersebut sudah dalam keadaan anaerob sehingga menyebabkan kadar CO2 meningkat. Hal ini sesuai dengan pendapat Reksohadiprodjo (1988) yang menyatakan bahwa perubahan warna disebabkan meningkatnya CO2 sehingga temperatur pemeraman meningkat. Sumarsih dan Tampoebolon (2003) menambahkan bahwa ciri amoniasi yang baik yaitu berwarna kecoklat-coklatan seperti bahan asal.

4.3. Bau
Berdasarkan hasil pengamatan bau pada amoniasi eceng gondok diperoleh hasil pada minggu pertama dan kedua baunya menyengat, sedangkan pada minggu ketiga baunya ammonia yang menyengat. Adanya perubahan bau tersebut disebabkan karena eceng gondok disimpan dalam keadaan anaerob sehingga tidak ada pergantian udara di dalam silo membuat suasana menjadi basa. Suasana basa mengakibatkan urea yang memiliki rumus CO(NH2)2 yang diubah menjadi NH3 (amonia). Hal ini sesuai dengan pendapat Sumarsih dan Tampoebolon (2003) yang menyatakan bahwa ciri amoniasi yang baik yaitu bau yang khas amonia. Pandapat diperkuat oleh Hanafi (2004) urea dengan rumus molekul CO(NH2)2 digunakan dalam ransum. CO (NH2)2 yang digunakan terurai menjadi NH3 dan CO2. Dengan molekul air dan NH3 akan mengalami hidrolisis menjadi NH4+ dan OH.

4.4. Tekstur
Berdasarkan hasil pengamatan tekstur pada amoniakeceng gondok diperoleh hasil padaminggu pertama teksturnya lembut, minggu kedua teksturnya sedikit remah dan pada minggu ketiga teksturnya sedang. Hal ini menunjukkan hasil tekstur amoniasi tersebut baik. Keadaan lembut pada minggu pertama dan kedua disebabkan karena pencampuran urea yang dilarutkan dalam air merata keseluruh permukaan eceng gondok atau proses amoniak anaerob secara sempurna, sehingga amoniak eceng gondok teksturnya lembut, remah sempurna. Hal tersebut terjadi karena eceng gondok pada saat pembuatan amoniasi tidak dalam keadaan kering. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Sumarsih dan Tampoebolon (2003) yang menyatakan bahwa ciri amoniasi yang baik yaitu tekstur berubah menjadi lebih lunak dan kering. Anggorodi (1984) menambahkan bahwa urea yang ditambahkan dalam pakan ruminansia dengan kadar yang berbeda-beda, ternyata dirombak menjadi protein oleh mikroorganisme sehingga mempertinggi daya cerna selulosa dalam hijauan.

4.5. Jamur
Berdasarkan hasil pengamatan jamur pada amoniasi eceng gondok pada minggu pertama sampai minggu ke tiga diperoleh hasil tidak ada jamur pada amoniakeceng gondok tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa amoniasi berkualitas baik. Pembuatan amoniasi tersebut tidak menghasilkan jamur karena cara pembungkusan dengan baik dan rapat sehingga diperoleh suasana anaerob. Hal ini sesuai dengan pendapat Regan (1997) bahwa kualitas amoniasi dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti asal atau jenis hijauan, temperatur penyimpanan, kepadatan hijauan dan kondisi anaerob pada proses amoniasi berlangsung. Tony (2008) menambahkan bahwa keuntungan amonisasi adalah kecernaan meningkat protein meningkat, menghambat pertumbuhan jamur, dan memusnahkan telur cacing.

4.6. Penggumpalan
Berdasarkan hasil pengamatan penggumpalan pada amoniasi eceng gondok pada minggu pertama sampai minggu ke tiga diperoleh hasil tidak ada penggumpalan pada amoniak eceng gondok tersebut. Pembuatan amoniasi tersebut tidak mengalami penggumpalan karena tidak terdapatnya aktivitas jamur pada bagian amoniasi, hal ini disebabkan karena pembungkusan yang baik sehingga diperoleh suasana anaerob yang sesuai. Hal ini sesuai dengan pendapat Regan (1997) bahwa kualitas amoniasi dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti asal atau jenis hijauan, temperatur penyimpanan, kepadatan jerami dan kondisi anaerob pada proses amoniasi berlangsung. Tony (2008) menambahkan bahwa keuntungan amonisasi adalah kecernaan meningkat, protein meningkat, menghambat pertumbuhan jamur, dan memusnahkan telur cacing.



4.7. pH
Berdasarkan data pengamatan pembuatan amoniasi pada enceng gondok diperoleh hasil pada minggu ke-1 memiliki pH 6,35, minggu ke-2 memiliki pH 11,29, dan minggu ke- 3 memiliki pH 10,37. Amoniasi yang telah diperam selama 3 minggu menghasilkan pH > 7 yang bersifat basa dengan skor yang tinggi yaitu 9, dimana jamur tidak dapat tumbuh. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumarsih dan Tampoebolon (2003), yang menyatakan bahan pakan hasil amoniasi lebih lembut dibandingkan bahan pakan aslinya, tidak berjamur atau menggumpal, tidak berlendir dan pH yang dihasilkan sekitar 8 atau lebih.

BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. Simpulan
Berdasarkan hasil praktikum dapat ditarik kesimpulan bahwa amoniasi pada rumput lapangan memiliki kualitas baik, karena mempunyai warna seperti hijauan direbus, baunya sedang, teksturnya seperti hijauan segar, pH normal, jamur hanya sedikit di tepi dan tidak ada penggumpalan. Amoniasi pada eceng gondok mempunyai kualitas yang baik, yaitu warna hijau kecoklatan, bau sedang, teksturnya sedang, pH asam, tidak adanya jamur dan tidak adanya penggumpalan.
5.2. Saran
Proses pengolahan bahan pakan dengan cara amoniasi sebaiknya diterapkan khusunya untuk bahan pakan maupun limbah pertanian dengan kandungan serat yang tinggi, karena dengan amoniasi selain membuat bahan pakan lebih awet, juga dapat meningkatkan nilai gizi dari suatu bahan pakan. Oleh karena itu, enceng gondok yang hanya dipandang sebagai limbah, sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan pakan melalui proses amoniasi untuk meningkatkan nilai gizinya.





DAFTAR PUSTAKA
Anggorodi, R. 1984. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia, Jakarta.
Ensminger, M.E and C. G. Olentine. 1978. Feeds and Nutrition Complete. The Ensminger Publishing Company, Clovis, California, U.S.A.

Febrisantosa, Sofyan. 2007. http://jiwocore.wordpress.com/2009/01/06/silasekomplit-untuk-pakan-ternak/. Diakses pada tanggal 12 Juni 2013 pukul 22.10 WIB.

Kartadisastra, H. R. 1997. Penyediaan dan Pengelolaan Pakan Ternak Ruminansia. Penerbit Kanisius, Jakarta

Melayu, S.R. 2010. Pembuatan Silase Hijauan. Universitas Andalas. Sumatra Barat.


Murni, R., Suparjo, Akmal dan B. L. Ginting. 2008. Teknologi pemanfaatan Limbah untuk pakan. Laboratorium Makanan Ternak fakultas Peternakan Universitas, Jambi.

Mustang. 2009. Amoniasi Meningkatkan Pakan Ternak www.mustang89.com. Diakses pada tanggal 6 Desember 2010 pukul 14.30 WIB


Regan, C.S. 1997. Forage Concervation in The Wet/ Dry Tropics for Small Landholder Farmers. Thesis.Faculty of Science, Nothern Territory University, Darwin Austalia.
Reksohadiprodjo, S. 1998. Pakan Ternak Gembala. BPFE, Yogyakarta.

Sawitri, D, E. dan T, Sutrisno. 2007. Adsorpsi Khrom (VI) Dari Limbah Cair Industri Pelapisan Logam Dengan Arang Eceng Gondok (Eichorniacrossipes). Universitas Diponegoro. Semarang.

Siregar, M.E. 1996. Pengawetan Pakan Ternak. Penebar Swadaya, Jakarta.
Siregar, S.B. 1995. Pengawetan Pakan Ternak. Panebar Swadaya, Jakarta
Sumarsih, S Dan B. I. M. Tampoebolon. 2003. Pengaruh Aras Urea dan Lama Pemeraman yang Berbeda Tehadap Sifat Fisik Eceng Gondok Teramoniasi. Jurnal Pengembangan Peternakan Tropis. 4: 298-301.

Tilman, A.D., Hartadi, H., Reksohadiprojo, S., Prawirokusumo, S., dan Lebdosoekojo, S. 1998. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta.

Tony. Multiply.com/2008/ Pengawetan Pakan Dengan Cara Amoniasi. Diakses pada tanggal 12 Juni 2013 pukul 22.20 WIB.

Zaman, B. dan E. Sutrisno. 2006. Kemampuan Penyerapan Eceng Gondok Terhadap Amoniak DalamLimbah Rumah Sakit Berdasarkan Umur dan Lama Kontak. Universitas Diponegoro. Semarang.